BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Dewasa ini mahasiswa di perguruan
tinggi sering mengadopsi suatu pandangan bahwa situasi konseling yang
diterapkan dalam setiap peristiwa yang ditanamkan dalam konteks yang lebih luas
pada seluruh kehidupan diri mahasiswa. Kebutuhan untuk membangun perspektif
secara spontan dalam memanusiakan manusia ketika mahasiswa asing diberikan
nasehat. Permasalahan yang disampaikan mahasiswa asing kepada konselor
seringkali membawa kedangkalan pada pola dan nilai budaya terhadap pemikiran
yang merusak penerimaan yang lazim dalam konseling.
Ketika konselor dan kloen
bersama-sama dalam budaya yang sama, konselor mempercayakan intuitively atas
penerimaan secara bersama-sama untuk menyempurnakan sesuatu diluar diri klien,
atas pemahaman dirinya. Ketika participant budaya konseling dibedakan, konselor
sering kurang menyimpulkan untuk menciptakan gambaran pada diri klien.
Interaksi antara konselor-klien
dapat dilihat sebgai intervensi yang disengaja dalam aktivitasnya, serta
kebaikannya untuk memuaskan klien atas efektivitas yang diperbaiki.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian sensitifitas budaya?
2. Bagaimana pemahaman cara pandang
terhadap perbedaan klien?
3.
Apa saja
tingkat perbedaan budaya?
4.
Bagaimana
sensifitas budaya dalam konseling?
5.
Karakteristik
apa yg harus dimiliki konselor untuk mampu menciptakan
sensifitas budaya?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian
sensitifitas budaya.
2. Untuk memahami cara pandang terhadap
perbedaan klien.
3. Untuk mengetahui tingkat perbedaan
budaya.
4. Untuk memahami sensifitas budaya.
5. Untuk mengetahui karakteristik apa
yang menunjang dalam penerimaan budaya
1.4 Manfaat
Bagi
Penulis : Sebagai
bahan untuk memperoleh informasi mengenai sensitifitas budaya dalam konseling.
Bagi
Pembaca : Sebagai baham
bacaan yang memberikan informasi mengenai sensitifitas budaya dalam konseling
Bagi
Dunia Pendidikan : Sebagai bahan
pembelajaran atau referensi untuk dunia pendidikan dan pendidikan bimbingan dan
konseling khususnya mengenai sensitifitas budaya dalam konselinng
BAB II
ISI
2.1 Pengertian Sensitifitas
Budaya
Sensitifitas
budaya adalah pemahaman dan toleransi terhadap semua gaya hidup dan kebudayaan.
Sensitifitas
antarbudaya dibentuk oleh berbagai variabel yang kompleks dan saling berhubungan.
Selain keterikatan pada nilai budaya, variabel yang juga akan berhubungan
pada sensitivitas antarbudaya adalah intensitas kontak dengan budaya lain,
serta beberapa kualitas pribadi seperti keterbukaan pada ambiguitas (Pedersen,
1994).
2.2
Pemahaman Cara Pandang Terhadap
Perbedaan Budaya
1.
Keyakinan
dan sikap
·
Konselor
lintas budaya menyadari reaksi emosional negatifnya terhadap ras maupun eknik
lain yang terbukti murugikan proses konseling.
·
Konselor
litas budaya menyadari streotipenya dan preconcelved Notions mempengaruhi
rasial dan kelompok minoritas lainnya
2.
Pengetahuan
·
Konselor
lintas budaya memiliki pengetahuan khusus dan informasi tentang kelompok
tertentu dari klien yang sedang dihadapinya
·
Konselor
lintas budaya memahami bagaimana ras, budaya, etnis, berpengaruh pada
pembentukan pribadi, pemilihan pekerjaan, ganguan psikologis, ketepatan dan
ketidaktepatan pendekatan konseling
- Konselor lintas budaya memahami dan memiliki pengetahuan tentang pengaruh sosiopolitik yang berbenturan dengan kehidupan ras tertentu maupun etnis minoritas
- Konselor lintas budaya memahami dan memiliki pengetahuan tentang pengaruh sosiopolitik yang berbenturan dengan kehidupan ras tertentu maupun etnis minoritas
3.
Keterampilan
·
Konselor
lintas budaya cukup mengenal riset yang relevan dan penemuan mutakhir tentang
kesehatan mental, gangguan mental pada berbagai ras dan etnis
·
Konselor
lintas budaya aktif terlibat dengan individu dari minoritas tertentu diluar
seting konseling
2.3 Tingkat Perbedaan Budaya
Unsur-unsur budaya yang dibawakan
oleh organisasi dan lembaga-lembaga sosial dapat mempengaruhi apa apa yang
dilakukan dan dipikirkan oleh individu. Tingkat pendidikan yang ingin
dicapainya, tujuan-tujuan dan jenis-jenis pekerjaan yang dipilihnya,
rekreasinya dan kelompok-kelompok yang dimasukinya. Hal ini menimbulkan
tingkat-tingkat perbedaan budaya yang sangat besar.
Secara garis besar ada 3 tingkatan
perbedaan budaya.
1. Budaya tingkat internasional
(Amerika, Indonesia, Jepang, Cina, dan India terlihat perbedaan yang amat nyata
seperti halnya dalam cara berpakaian, bahasa, cara berfikir, dan tingkah laku)
2. Perbedaan budaya dalam tingkat
kelompok etnik (di daratan Cina atau India masing-masing dapat dijumpai
berbagai subkultur Cina atau India)
3. Sosial budaya yang terdapat di dalam
satu etnis yang terkecil (dialek dalam bahasa, adat istiadat dalam perkawinan,
kelahiran dan kematian)
2.3 Sensitifitas Budaya Dalam Konseling
Budaya merupakan sesuatu
yang ada dalam setiap diri individu, tidak ada individu yang tidak
memiliki budaya, oleh karena itu konselor yang peka budaya sangat dibutuhkan
dalam pelayanan konseling. Adapun pengertian dari konselor peka budaya itu
sendiri adalah konselor yang menyadari bahwa secara kultural individu memiliki
karakteristik yang unik dan kedalam proses konseling individu membawa
karakteristik unik tersebut.
Penerapan
konseling lintas budaya mengharuskan konselor sensitive atau peka dan
tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antara
klien yang satu dengan klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan
kliennya. Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling. Karena, budaya
yang dianut sangat mungkin menimbulkan masalah dalam interaksi manusia dalam
kehidupan sehari-hari, masalah bisa
muncul akibat interaksi individu dengan lingkungannya, dan sangat mungkin
masalah terjadi dalam kaitannya dengan unsur-unsur
kebudayan yaitu budaya yang
dianut oleh individu, budaya yang ada di lingkungan individu, serta
tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar individu.
Konseling antar budaya akan berhasil
apabila telah mengembangkan 3 dimensi kemampuan yaitu dimensi keyakinan, dan
sikap pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan klien antar budaya yang
akan dilayani. Konselor tidak dipersiapkan secara khusus untuk menangani
klien-klien yang latar belakang budaya, suku atau ras, dan kelompok- Kelompk
sosial ekonomi tertentu, akan tetapi menangani klien yang bersifat antar budaya
atau bahkan multi budaya.
Kebutuhan akan konseling antar
budaya di Indonesia makin terasa, mengingat penduduk Indonesia terdiri dari
berbagai suku bangsa yang memilki beraneka corak sub-kultur yang berbeda-beda
karakteristik sosial budaya masyarakat yang majemuk itu tidak dapat diabaikan
dalam perencanaan dan penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Pelayanan BK
yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan meningkatkan mutu kehidupan
serta martabat manusia Indonesia harus berakar pada budaya bangsa Indonesia
sendiri. Hal ini berarti bahwa penyelenggaraan BK harus dilandasi dan
mempertimbangkan keanekaragaman sosial budaya yang hidup dalam masyarakat,
disamping kesadaran akan dinamika sosial budaya itu menuju masyarakat yang
lebih maju.
Seperti aspek-aspek yang signifikan
pada persepsi,ingatan, dan sisa sejarah yang membisu.Waktu yang mengiris pada
sesi konseling akan memperluas horizontally yang meliputi sejarah dan masa
depan klien, serta ketegak lurusan ke penggabungan makna budaya itu.
Konsep ahirnya adalah mengkritisi komonikasi
antar budaya, semenjak di sarankan empati ketentuan pertalian dan hubungan
berdasarkan atas kesamaan antar kedua partisipan konseling antar budaya,
mungkin tidak adanya definisi interaksi yang akurat secara menyeluruh, semenyak
empati, menjelaskan pemahaman orang lain atas kesulitan bersama, tidak akan
terjadi. Sebelum menjauhi kemungkinan konseling antar budaya, kita selalu
melihat kebutuhan yang serupa untuk menompang empati.
Membangun suatu proses berbaris
psikologi, budaya belajar ( cultural learning ) mungkin menentukan seprangkat
persepsi persamaan yang lebih menemukan perbedaanya. Jika laboratory ditemukan
akan bias memperluas level persepsi social, kita dapat melakukan hipotesis
yaitu sebagian masyarakat Amerika, sebagai contoh, budaya belajar mendorong
persepsi yang sama dengan yang lainya, orang Perancis ( French ) mungkin
predisposition untuk menerima suatu perbedaan. Pengamatan secara umum yang
dibutuhkan adalah untuk memperkuat atau juga untuk menolaknya. Menandakan suatu kondensasi proses konseling
pada seluruh pengalaman hidup individu, menekankan sebagian pengalaman lebih
dari yang lain. Situasi konseling adalah “simulacrum” pada tempat kehidupan
klien. Hal tersebut dipersepsikan sebagai suatu yang usang (timeworn) dan sulit
dianalisis, tapi kita telah memiliki saat putaran teknologi dan menggunakan
prinsip-prinsip hologram sebagai model untuk situasi konseling. Dalam informasi
hologram dalam mengamati catatan atas lapisan hologram dalam bentuk campur
tangan yang kompleks, pola-pola yang kelihatan tak berarti. Ketika pola-pola
itu diterangi oleh cahaya yang masuk akal bagaimanapun kesan originalnya adalah
direkontruksi proses yang parallel terhadap rekontruksi dalam interaksi antara
konselor dengan klien.
Klarifikasi
teoritis dan praktis terhadap empati masih meninggalkan satu pertanyaan
,yaitu: Bagaimana konselor dapat memiliki suatu pemahaman terhadap kesadaran
pada orang lain ,seperti klien. Untuk menggenggam empati secara natural suatu
pengertian apa yang terjadi terjadi dalam persepsi pada setiap peristiwa itu.
2.5 Karakteristik yang harus dimiliki konselor dalam
membentuk sensitifitas budaya
Dari ulasan diatas agar berjalan
efektif konselor dalam hal ini dituntut untuk mempunyai kompetensi atau
kemampuan yang luas. Sue (Dalam George & Cristiani: 1990) menyatakan
beberapa karakteristik konselor sebagai berikut:
1). Konselor lintas budaya sadar
terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan sumsi asumsi terbaru tentang
perilaku manusia. Dalam hal ini, konselor yang melakukan praktik konseling
lintas budaya, seharusnya sadar bahwa dia memiliki nilai nilai sendiri yang
harus dijunjung tinggi. Konselor harus sadar bahwa nilai nilai dan norma norma
yang dimilikinya itu akan terus dipertahankan sampai kapanpun juga. Di sisi
lain, konselor harus menyadari bahwa klien yang akan dihadapinya adalah mereka
yang mempunyai nilai nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Untuk hal
itu, maka konselor harus bisa menerima nilai nilai yang berbeda itu dan
sekaligus mempelajarinya.
2).
Konselor lintas budaya sadar terhadap
karakteristik konseling secara umum.
Konselor dalam melaksanakan konseling sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian terhadap kaidah kanseling yang terbaru akan membantu konselor dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien. Terutama mengenai kekuatan baru dalam dunia konseling yaitu konseling lintas budaya.
Konselor dalam melaksanakan konseling sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian terhadap kaidah kanseling yang terbaru akan membantu konselor dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien. Terutama mengenai kekuatan baru dalam dunia konseling yaitu konseling lintas budaya.
3). Konselor lintas budaya harus mengetahui
pengaruh kesukuan, dan mereka harus mempunyai perhatian terhadap lingkungannya.
Konselor dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang
berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan
nilai nilai atau norma norma yang dimiliki oleh suku suku tertentu. Terlebih
lagi, jika konselor melakukan praktek konseling di indonesia. Dia harus sadar
bahwa Indonesia mempunyai kurang lebih 357 etnis, yang tentu saja membawa nilai
nilai dan norma yang berbeda. Untuk mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka
konselor harus mau belajar dan memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan
praktik. Dengan mengadakan perhatian atau observasi nilai-nilai lingkungan di
sekitarnya, diharapkan konselor dapat mencegah terjadinya kemandegan atau
pertentangan selama proses konseling.
4). Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong
seseorang (klien) untuk dapat memahami budayanya (nilai-nilai yang dimiliki
konselor). Untuk hal ini, ada aturan main yang harus ditaati oleh setiap
konselor. Konselor mempunyai kode etik konseling, yang secara tegas menyatakan
bahwa konselor tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada klien.Hal ini
mengimplikasikan bahwa sekecil apapun kamauan konselor tidak bolah dipaksakan
kepada klien.Klien tidak boleh diintervensi oleh konselor tanpa persetujuan
klien.
5). Konselor lintas budaya dalam melaksanakan
konseling harus mempergunakan pendekaten eklektik. Pendekatan eklektik adalah
suatu pendekatan dalam konseling yang mencoba untuk menggabungkan beberapa
pendekatan dalam konseling untuk membantu memecahkan masalah klien.
Penggabungan ini dilakukan untuk membantu klien yang mempunyai perbedaan gaya
hidup. Selain itu, konseling eklektik dapat berupa penggabungan pendekatan
konseling yang ada dengan pendekatan yang digali dari masyarakat pribumi
(indegenous).
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Sensitifitas budaya adalah pemahaman
dan toleransi terhadap semua gaya hidup dan kebudayaan. Dengan pemahaman cara
pandang terhadap perbedaan budaya yang harus dimiliki konselor, meliputi;
1.Keyakinan dan sikap, 2.Pengetahuan, 3.Keterampilan. Adanya unsur-unsur budaya
yang dibawa oleh setiap individu, timbulah tingkat perbedaan budaya yang
meliputi,1. Tingkat Internasional 2.Tingkat Kelompok Etnik 3. Tingkat Sosial
Budaya.
Ketika konselor dan kloen
bersama-sama dalam budaya yang sama, konselor mempercayakan intuitively atas
penerimaan secara bersama-sama untuk menyempurnakan sesuatu diluar diri klien,
atas pemahaman dirinya. Ketika participant budaya konseling dibedakan, konselor
sering kurang menyimpulkan untuk menciptakan gambaran pada diri klien.
Interaksi antara konselor-klien dapat dilihat sebgai intervensi yang disengaja
dalam aktivitasnya, serta kebaikannya untuk memuaskan klien atas efektivitas
yang diperbaiki. Konselor harus memiliki karakteristik agar konselor dapat
terjalin sensitifitas budaya dengan klien. Karakteristiknya adalah sebagai
berikut, 1. Konselor lintas budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang
dimilikinya dan sumsi asumsi terbaru tentang perilaku manusia. 2. Konselor
lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum. 3. Konselor
lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan, dan mereka harus mempunyai perhatian
terhadap lingkungannya. 4. Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong
seseorang (klien) untuk dapat memahami budayanya (nilai-nilai yang dimiliki
konselor). 5. Konselor lintas budaya dalam melaksanakan konseling harus
mempergunakan pendekaten eklektik
3.2
Saran
Saran yang dapat kelompok berikan adalah individu (pembaca)
umumnya, mahasiswa dan mahasiswi bimbingan dan konseling khususnya agar dapat
mendalami, memahami, mengefektifkan, materi didalam makalah yang telah kelompk
buat ini. Sehingga, dalam segi kinerjanya nanti dapat di efektifkan dan digunakan sebagai ilmu yang dapat menunjang
kinerjanya. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan para pembacanya mengeani
materi Sensitifitas Budaya Dalam Konseling.
DAFTAR
PUSTAKA
Adhiputra, A.A Ngurah. (2013). Konseling Lintas Budaya. Yogyakarta:
Graha Ilmu
Ahmadi, Abu. (1986). Antropologi Budaya. Surabaya: Pelangi
Mulyana, Deddy, and Rakhmat,
Jalaluddin. (2003). Komunikasi Antar Budaya. Bandung: Rosda
http://riezkaratna73.blogspot.com/2014/05/konseling-lintas-budaya.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar