Senin, 11 November 2019

Sensitifitas Budaya Dalam Konseling


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Dewasa ini mahasiswa di perguruan tinggi sering mengadopsi suatu pandangan bahwa situasi konseling yang diterapkan dalam setiap peristiwa yang ditanamkan dalam konteks yang lebih luas pada seluruh kehidupan diri mahasiswa. Kebutuhan untuk membangun perspektif secara spontan dalam memanusiakan manusia ketika mahasiswa asing diberikan nasehat. Permasalahan yang disampaikan mahasiswa asing kepada konselor seringkali membawa kedangkalan pada pola dan nilai budaya terhadap pemikiran yang merusak penerimaan yang lazim dalam konseling.
Ketika konselor dan kloen bersama-sama dalam budaya yang sama, konselor mempercayakan intuitively atas penerimaan secara bersama-sama untuk menyempurnakan sesuatu diluar diri klien, atas pemahaman dirinya. Ketika participant budaya konseling dibedakan, konselor sering kurang menyimpulkan untuk menciptakan gambaran pada diri klien.
Interaksi antara konselor-klien dapat dilihat sebgai intervensi yang disengaja dalam aktivitasnya, serta kebaikannya untuk memuaskan klien atas efektivitas yang diperbaiki.




1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian sensitifitas budaya?
2.      Bagaimana pemahaman cara pandang terhadap perbedaan klien?
3.      Apa saja tingkat perbedaan budaya?
4.      Bagaimana sensifitas budaya dalam konseling?
5.      Karakteristik apa yg harus dimiliki konselor untuk mampu menciptakan
      sensifitas budaya?
1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian sensitifitas budaya.
2.      Untuk memahami cara pandang terhadap perbedaan klien.
3.      Untuk mengetahui tingkat perbedaan budaya.
4.      Untuk memahami sensifitas budaya.
5.      Untuk mengetahui karakteristik apa yang menunjang dalam penerimaan budaya
1.4  Manfaat
Bagi Penulis                      : Sebagai bahan untuk memperoleh informasi mengenai sensitifitas budaya dalam konseling.
Bagi Pembaca                   : Sebagai baham bacaan yang memberikan informasi mengenai sensitifitas budaya dalam konseling
Bagi Dunia Pendidikan     : Sebagai bahan pembelajaran atau referensi untuk dunia pendidikan dan pendidikan bimbingan dan konseling khususnya mengenai sensitifitas budaya dalam konselinng


BAB II
ISI
2.1 Pengertian Sensitifitas Budaya
Sensitifitas budaya adalah pemahaman dan toleransi terhadap semua gaya hidup dan kebudayaan. Sensitifitas antarbudaya dibentuk oleh berbagai variabel yang kompleks dan saling berhubungan. Selain keterikatan pada nilai budaya, variabel yang juga akan  berhubungan pada sensitivitas antarbudaya adalah intensitas kontak dengan budaya lain, serta beberapa kualitas pribadi seperti keterbukaan pada ambiguitas (Pedersen, 1994).
2.2  Pemahaman Cara Pandang Terhadap Perbedaan Budaya
1.      Keyakinan dan sikap
·         Konselor lintas budaya menyadari reaksi emosional negatifnya terhadap ras maupun eknik lain yang terbukti murugikan proses konseling.
·         Konselor litas budaya menyadari streotipenya dan preconcelved Notions mempengaruhi rasial dan kelompok minoritas lainnya
2.      Pengetahuan
·         Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan khusus dan informasi tentang kelompok tertentu dari klien yang sedang dihadapinya
·         Konselor lintas budaya memahami bagaimana ras, budaya, etnis, berpengaruh pada pembentukan pribadi, pemilihan pekerjaan, ganguan psikologis, ketepatan dan ketidaktepatan pendekatan konseling
- Konselor lintas budaya memahami dan memiliki pengetahuan tentang pengaruh sosiopolitik yang berbenturan dengan kehidupan ras tertentu maupun etnis minoritas
3.      Keterampilan
·         Konselor lintas budaya cukup mengenal riset yang relevan dan penemuan mutakhir tentang kesehatan mental, gangguan mental pada berbagai ras dan etnis
·         Konselor lintas budaya aktif terlibat dengan individu dari minoritas tertentu diluar seting konseling
2.3 Tingkat Perbedaan Budaya
Unsur-unsur budaya yang dibawakan oleh organisasi dan lembaga-lembaga sosial dapat mempengaruhi apa apa yang dilakukan dan dipikirkan oleh individu. Tingkat pendidikan yang ingin dicapainya, tujuan-tujuan dan jenis-jenis pekerjaan yang dipilihnya, rekreasinya dan kelompok-kelompok yang dimasukinya. Hal ini menimbulkan tingkat-tingkat perbedaan budaya yang sangat besar.
Secara garis besar ada 3 tingkatan perbedaan budaya.
1.      Budaya tingkat internasional (Amerika, Indonesia, Jepang, Cina, dan India terlihat perbedaan yang amat nyata seperti halnya dalam cara berpakaian, bahasa, cara berfikir, dan tingkah laku)
2.      Perbedaan budaya dalam tingkat kelompok etnik (di daratan Cina atau India masing-masing dapat dijumpai berbagai subkultur Cina atau India)
3.      Sosial budaya yang terdapat di dalam satu etnis yang terkecil (dialek dalam bahasa, adat istiadat dalam perkawinan, kelahiran dan kematian)

2.3  Sensitifitas Budaya Dalam Konseling
Budaya merupakan sesuatu  yang ada dalam setiap diri individu, tidak ada individu yang tidak memiliki budaya, oleh karena itu konselor yang peka budaya sangat dibutuhkan dalam pelayanan konseling. Adapun pengertian dari konselor peka budaya itu sendiri adalah konselor yang menyadari bahwa secara kultural individu memiliki karakteristik yang unik dan kedalam proses konseling individu membawa karakteristik unik tersebut.
Penerapan konseling lintas budaya mengharuskan konselor sensitive atau peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antara klien yang satu dengan klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling. Karena, budaya yang dianut sangat mungkin menimbulkan masalah dalam interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari,  masalah bisa muncul akibat interaksi individu dengan lingkungannya, dan sangat mungkin masalah terjadi dalam kaitannya dengan unsur-unsur kebudayan  yaitu budaya yang dianut oleh individu, budaya yang ada di lingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar individu. 
Konseling antar budaya akan berhasil apabila telah mengembangkan 3 dimensi kemampuan yaitu dimensi keyakinan, dan sikap pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan klien antar budaya yang akan dilayani. Konselor tidak dipersiapkan secara khusus untuk menangani klien-klien yang latar belakang budaya, suku atau ras, dan kelompok- Kelompk sosial ekonomi tertentu, akan tetapi menangani klien yang bersifat antar budaya atau bahkan multi budaya.
Kebutuhan akan konseling antar budaya di Indonesia makin terasa, mengingat penduduk Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memilki beraneka corak sub-kultur yang berbeda-beda karakteristik sosial budaya masyarakat yang majemuk itu tidak dapat diabaikan dalam perencanaan dan penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Pelayanan BK yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan meningkatkan mutu kehidupan serta martabat manusia Indonesia harus berakar pada budaya bangsa Indonesia sendiri. Hal ini berarti bahwa penyelenggaraan BK harus dilandasi dan mempertimbangkan keanekaragaman sosial budaya yang hidup dalam masyarakat, disamping kesadaran akan dinamika sosial budaya itu menuju masyarakat yang lebih maju.
Seperti aspek-aspek yang signifikan pada persepsi,ingatan, dan sisa sejarah yang membisu.Waktu yang mengiris pada sesi konseling akan memperluas horizontally yang meliputi sejarah dan masa depan klien, serta ketegak lurusan ke penggabungan makna budaya itu.
 Konsep ahirnya adalah mengkritisi komonikasi antar budaya, semenjak di sarankan empati ketentuan pertalian dan hubungan berdasarkan atas kesamaan antar kedua partisipan konseling antar budaya, mungkin tidak adanya definisi interaksi yang akurat secara menyeluruh, semenyak empati, menjelaskan pemahaman orang lain atas kesulitan bersama, tidak akan terjadi. Sebelum menjauhi kemungkinan konseling antar budaya, kita selalu melihat kebutuhan yang serupa untuk menompang empati.
Membangun suatu proses berbaris psikologi, budaya belajar ( cultural learning ) mungkin menentukan seprangkat persepsi persamaan yang lebih menemukan perbedaanya. Jika laboratory ditemukan akan bias memperluas level persepsi social, kita dapat melakukan hipotesis yaitu sebagian masyarakat Amerika, sebagai contoh, budaya belajar mendorong persepsi yang sama dengan yang lainya, orang Perancis ( French ) mungkin predisposition untuk menerima suatu perbedaan. Pengamatan secara umum yang dibutuhkan adalah untuk memperkuat atau juga untuk menolaknya.    Menandakan suatu kondensasi proses konseling pada seluruh pengalaman hidup individu, menekankan sebagian pengalaman lebih dari yang lain. Situasi konseling adalah “simulacrum” pada tempat kehidupan klien. Hal tersebut dipersepsikan sebagai suatu yang usang (timeworn) dan sulit dianalisis, tapi kita telah memiliki saat putaran teknologi dan menggunakan prinsip-prinsip hologram sebagai model untuk situasi konseling. Dalam informasi hologram dalam mengamati catatan atas lapisan hologram dalam bentuk campur tangan yang kompleks, pola-pola yang kelihatan tak berarti. Ketika pola-pola itu diterangi oleh cahaya yang masuk akal bagaimanapun kesan originalnya adalah direkontruksi proses yang parallel terhadap rekontruksi dalam interaksi antara konselor dengan klien.
Klarifikasi teoritis dan  praktis terhadap empati masih meninggalkan satu pertanyaan ,yaitu: Bagaimana konselor dapat memiliki suatu pemahaman terhadap kesadaran pada orang lain ,seperti klien. Untuk menggenggam empati secara natural suatu pengertian apa yang terjadi terjadi dalam persepsi pada setiap peristiwa itu.
2.5 Karakteristik yang harus dimiliki konselor dalam membentuk sensitifitas budaya
Dari ulasan diatas agar berjalan efektif konselor dalam hal ini dituntut untuk mempunyai kompetensi atau kemampuan yang luas. Sue (Dalam George & Cristiani: 1990) menyatakan beberapa karakteristik konselor sebagai berikut:
1). Konselor lintas budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan sumsi asumsi terbaru tentang perilaku manusia. Dalam hal ini, konselor yang melakukan praktik konseling lintas budaya, seharusnya sadar bahwa dia memiliki nilai nilai sendiri yang harus dijunjung tinggi. Konselor harus sadar bahwa nilai nilai dan norma norma yang dimilikinya itu akan terus dipertahankan sampai kapanpun juga. Di sisi lain, konselor harus menyadari bahwa klien yang akan dihadapinya adalah mereka yang mempunyai nilai nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Untuk hal itu, maka konselor harus bisa menerima nilai nilai yang berbeda itu dan sekaligus mempelajarinya.
2). Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum.
Konselor dalam melaksanakan konseling sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian terhadap kaidah kanseling yang terbaru akan membantu konselor dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien. Terutama mengenai kekuatan baru dalam dunia konseling yaitu konseling lintas budaya.
3).  Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan, dan mereka harus mempunyai perhatian terhadap lingkungannya. Konselor dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan nilai nilai atau norma norma yang dimiliki oleh suku suku tertentu. Terlebih lagi, jika konselor melakukan praktek konseling di indonesia. Dia harus sadar bahwa Indonesia mempunyai kurang lebih 357 etnis, yang tentu saja membawa nilai nilai dan norma yang berbeda. Untuk mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka konselor harus mau belajar dan memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan praktik. Dengan mengadakan perhatian atau observasi nilai-nilai lingkungan di sekitarnya, diharapkan konselor dapat mencegah terjadinya kemandegan atau pertentangan selama proses konseling.
4).  Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong seseorang (klien) untuk dapat memahami budayanya (nilai-nilai yang dimiliki konselor). Untuk hal ini, ada aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor mempunyai kode etik konseling, yang secara tegas menyatakan bahwa konselor tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada klien.Hal ini mengimplikasikan bahwa sekecil apapun kamauan konselor tidak bolah dipaksakan kepada klien.Klien tidak boleh diintervensi oleh konselor tanpa persetujuan klien.
5).  Konselor lintas budaya dalam melaksanakan konseling harus mempergunakan pendekaten eklektik. Pendekatan eklektik adalah suatu pendekatan dalam konseling yang mencoba untuk menggabungkan beberapa pendekatan dalam konseling untuk membantu memecahkan masalah klien. Penggabungan ini dilakukan untuk membantu klien yang mempunyai perbedaan gaya hidup. Selain itu, konseling eklektik dapat berupa penggabungan pendekatan konseling yang ada dengan pendekatan yang digali dari masyarakat pribumi (indegenous).


BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Sensitifitas budaya adalah pemahaman dan toleransi terhadap semua gaya hidup dan kebudayaan. Dengan pemahaman cara pandang terhadap perbedaan budaya yang harus dimiliki konselor, meliputi; 1.Keyakinan dan sikap, 2.Pengetahuan, 3.Keterampilan. Adanya unsur-unsur budaya yang dibawa oleh setiap individu, timbulah tingkat perbedaan budaya yang meliputi,1. Tingkat Internasional 2.Tingkat Kelompok Etnik 3. Tingkat Sosial Budaya.
Ketika konselor dan kloen bersama-sama dalam budaya yang sama, konselor mempercayakan intuitively atas penerimaan secara bersama-sama untuk menyempurnakan sesuatu diluar diri klien, atas pemahaman dirinya. Ketika participant budaya konseling dibedakan, konselor sering kurang menyimpulkan untuk menciptakan gambaran pada diri klien. Interaksi antara konselor-klien dapat dilihat sebgai intervensi yang disengaja dalam aktivitasnya, serta kebaikannya untuk memuaskan klien atas efektivitas yang diperbaiki. Konselor harus memiliki karakteristik agar konselor dapat terjalin sensitifitas budaya dengan klien. Karakteristiknya adalah sebagai berikut, 1. Konselor lintas budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan sumsi asumsi terbaru tentang perilaku manusia. 2. Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum. 3. Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan, dan mereka harus mempunyai perhatian terhadap lingkungannya. 4. Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong seseorang (klien) untuk dapat memahami budayanya (nilai-nilai yang dimiliki konselor). 5. Konselor lintas budaya dalam melaksanakan konseling harus mempergunakan pendekaten eklektik
3.2  Saran
Saran yang dapat kelompok berikan adalah individu (pembaca) umumnya, mahasiswa dan mahasiswi bimbingan dan konseling khususnya agar dapat mendalami, memahami, mengefektifkan, materi didalam makalah yang telah kelompk buat ini. Sehingga, dalam segi kinerjanya nanti dapat di efektifkan dan  digunakan sebagai ilmu yang dapat menunjang kinerjanya. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan para pembacanya mengeani materi Sensitifitas Budaya Dalam Konseling.


DAFTAR PUSTAKA
Adhiputra, A.A Ngurah. (2013). Konseling Lintas Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu
Ahmadi, Abu. (1986). Antropologi Budaya. Surabaya: Pelangi
Mulyana, Deddy, and Rakhmat, Jalaluddin. (2003). Komunikasi Antar Budaya. Bandung: Rosda
http://riezkaratna73.blogspot.com/2014/05/konseling-lintas-budaya.html




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sensitifitas Budaya Dalam Konseling

BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Masalah Dewasa ini mahasiswa di perguruan tinggi sering mengadopsi suatu pandangan bahwa situ...