Senin, 11 November 2019

Sensitifitas Budaya Dalam Konseling


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Dewasa ini mahasiswa di perguruan tinggi sering mengadopsi suatu pandangan bahwa situasi konseling yang diterapkan dalam setiap peristiwa yang ditanamkan dalam konteks yang lebih luas pada seluruh kehidupan diri mahasiswa. Kebutuhan untuk membangun perspektif secara spontan dalam memanusiakan manusia ketika mahasiswa asing diberikan nasehat. Permasalahan yang disampaikan mahasiswa asing kepada konselor seringkali membawa kedangkalan pada pola dan nilai budaya terhadap pemikiran yang merusak penerimaan yang lazim dalam konseling.
Ketika konselor dan kloen bersama-sama dalam budaya yang sama, konselor mempercayakan intuitively atas penerimaan secara bersama-sama untuk menyempurnakan sesuatu diluar diri klien, atas pemahaman dirinya. Ketika participant budaya konseling dibedakan, konselor sering kurang menyimpulkan untuk menciptakan gambaran pada diri klien.
Interaksi antara konselor-klien dapat dilihat sebgai intervensi yang disengaja dalam aktivitasnya, serta kebaikannya untuk memuaskan klien atas efektivitas yang diperbaiki.




1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian sensitifitas budaya?
2.      Bagaimana pemahaman cara pandang terhadap perbedaan klien?
3.      Apa saja tingkat perbedaan budaya?
4.      Bagaimana sensifitas budaya dalam konseling?
5.      Karakteristik apa yg harus dimiliki konselor untuk mampu menciptakan
      sensifitas budaya?
1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian sensitifitas budaya.
2.      Untuk memahami cara pandang terhadap perbedaan klien.
3.      Untuk mengetahui tingkat perbedaan budaya.
4.      Untuk memahami sensifitas budaya.
5.      Untuk mengetahui karakteristik apa yang menunjang dalam penerimaan budaya
1.4  Manfaat
Bagi Penulis                      : Sebagai bahan untuk memperoleh informasi mengenai sensitifitas budaya dalam konseling.
Bagi Pembaca                   : Sebagai baham bacaan yang memberikan informasi mengenai sensitifitas budaya dalam konseling
Bagi Dunia Pendidikan     : Sebagai bahan pembelajaran atau referensi untuk dunia pendidikan dan pendidikan bimbingan dan konseling khususnya mengenai sensitifitas budaya dalam konselinng


BAB II
ISI
2.1 Pengertian Sensitifitas Budaya
Sensitifitas budaya adalah pemahaman dan toleransi terhadap semua gaya hidup dan kebudayaan. Sensitifitas antarbudaya dibentuk oleh berbagai variabel yang kompleks dan saling berhubungan. Selain keterikatan pada nilai budaya, variabel yang juga akan  berhubungan pada sensitivitas antarbudaya adalah intensitas kontak dengan budaya lain, serta beberapa kualitas pribadi seperti keterbukaan pada ambiguitas (Pedersen, 1994).
2.2  Pemahaman Cara Pandang Terhadap Perbedaan Budaya
1.      Keyakinan dan sikap
·         Konselor lintas budaya menyadari reaksi emosional negatifnya terhadap ras maupun eknik lain yang terbukti murugikan proses konseling.
·         Konselor litas budaya menyadari streotipenya dan preconcelved Notions mempengaruhi rasial dan kelompok minoritas lainnya
2.      Pengetahuan
·         Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan khusus dan informasi tentang kelompok tertentu dari klien yang sedang dihadapinya
·         Konselor lintas budaya memahami bagaimana ras, budaya, etnis, berpengaruh pada pembentukan pribadi, pemilihan pekerjaan, ganguan psikologis, ketepatan dan ketidaktepatan pendekatan konseling
- Konselor lintas budaya memahami dan memiliki pengetahuan tentang pengaruh sosiopolitik yang berbenturan dengan kehidupan ras tertentu maupun etnis minoritas
3.      Keterampilan
·         Konselor lintas budaya cukup mengenal riset yang relevan dan penemuan mutakhir tentang kesehatan mental, gangguan mental pada berbagai ras dan etnis
·         Konselor lintas budaya aktif terlibat dengan individu dari minoritas tertentu diluar seting konseling
2.3 Tingkat Perbedaan Budaya
Unsur-unsur budaya yang dibawakan oleh organisasi dan lembaga-lembaga sosial dapat mempengaruhi apa apa yang dilakukan dan dipikirkan oleh individu. Tingkat pendidikan yang ingin dicapainya, tujuan-tujuan dan jenis-jenis pekerjaan yang dipilihnya, rekreasinya dan kelompok-kelompok yang dimasukinya. Hal ini menimbulkan tingkat-tingkat perbedaan budaya yang sangat besar.
Secara garis besar ada 3 tingkatan perbedaan budaya.
1.      Budaya tingkat internasional (Amerika, Indonesia, Jepang, Cina, dan India terlihat perbedaan yang amat nyata seperti halnya dalam cara berpakaian, bahasa, cara berfikir, dan tingkah laku)
2.      Perbedaan budaya dalam tingkat kelompok etnik (di daratan Cina atau India masing-masing dapat dijumpai berbagai subkultur Cina atau India)
3.      Sosial budaya yang terdapat di dalam satu etnis yang terkecil (dialek dalam bahasa, adat istiadat dalam perkawinan, kelahiran dan kematian)

2.3  Sensitifitas Budaya Dalam Konseling
Budaya merupakan sesuatu  yang ada dalam setiap diri individu, tidak ada individu yang tidak memiliki budaya, oleh karena itu konselor yang peka budaya sangat dibutuhkan dalam pelayanan konseling. Adapun pengertian dari konselor peka budaya itu sendiri adalah konselor yang menyadari bahwa secara kultural individu memiliki karakteristik yang unik dan kedalam proses konseling individu membawa karakteristik unik tersebut.
Penerapan konseling lintas budaya mengharuskan konselor sensitive atau peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antara klien yang satu dengan klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling. Karena, budaya yang dianut sangat mungkin menimbulkan masalah dalam interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari,  masalah bisa muncul akibat interaksi individu dengan lingkungannya, dan sangat mungkin masalah terjadi dalam kaitannya dengan unsur-unsur kebudayan  yaitu budaya yang dianut oleh individu, budaya yang ada di lingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar individu. 
Konseling antar budaya akan berhasil apabila telah mengembangkan 3 dimensi kemampuan yaitu dimensi keyakinan, dan sikap pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan klien antar budaya yang akan dilayani. Konselor tidak dipersiapkan secara khusus untuk menangani klien-klien yang latar belakang budaya, suku atau ras, dan kelompok- Kelompk sosial ekonomi tertentu, akan tetapi menangani klien yang bersifat antar budaya atau bahkan multi budaya.
Kebutuhan akan konseling antar budaya di Indonesia makin terasa, mengingat penduduk Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memilki beraneka corak sub-kultur yang berbeda-beda karakteristik sosial budaya masyarakat yang majemuk itu tidak dapat diabaikan dalam perencanaan dan penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Pelayanan BK yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan meningkatkan mutu kehidupan serta martabat manusia Indonesia harus berakar pada budaya bangsa Indonesia sendiri. Hal ini berarti bahwa penyelenggaraan BK harus dilandasi dan mempertimbangkan keanekaragaman sosial budaya yang hidup dalam masyarakat, disamping kesadaran akan dinamika sosial budaya itu menuju masyarakat yang lebih maju.
Seperti aspek-aspek yang signifikan pada persepsi,ingatan, dan sisa sejarah yang membisu.Waktu yang mengiris pada sesi konseling akan memperluas horizontally yang meliputi sejarah dan masa depan klien, serta ketegak lurusan ke penggabungan makna budaya itu.
 Konsep ahirnya adalah mengkritisi komonikasi antar budaya, semenjak di sarankan empati ketentuan pertalian dan hubungan berdasarkan atas kesamaan antar kedua partisipan konseling antar budaya, mungkin tidak adanya definisi interaksi yang akurat secara menyeluruh, semenyak empati, menjelaskan pemahaman orang lain atas kesulitan bersama, tidak akan terjadi. Sebelum menjauhi kemungkinan konseling antar budaya, kita selalu melihat kebutuhan yang serupa untuk menompang empati.
Membangun suatu proses berbaris psikologi, budaya belajar ( cultural learning ) mungkin menentukan seprangkat persepsi persamaan yang lebih menemukan perbedaanya. Jika laboratory ditemukan akan bias memperluas level persepsi social, kita dapat melakukan hipotesis yaitu sebagian masyarakat Amerika, sebagai contoh, budaya belajar mendorong persepsi yang sama dengan yang lainya, orang Perancis ( French ) mungkin predisposition untuk menerima suatu perbedaan. Pengamatan secara umum yang dibutuhkan adalah untuk memperkuat atau juga untuk menolaknya.    Menandakan suatu kondensasi proses konseling pada seluruh pengalaman hidup individu, menekankan sebagian pengalaman lebih dari yang lain. Situasi konseling adalah “simulacrum” pada tempat kehidupan klien. Hal tersebut dipersepsikan sebagai suatu yang usang (timeworn) dan sulit dianalisis, tapi kita telah memiliki saat putaran teknologi dan menggunakan prinsip-prinsip hologram sebagai model untuk situasi konseling. Dalam informasi hologram dalam mengamati catatan atas lapisan hologram dalam bentuk campur tangan yang kompleks, pola-pola yang kelihatan tak berarti. Ketika pola-pola itu diterangi oleh cahaya yang masuk akal bagaimanapun kesan originalnya adalah direkontruksi proses yang parallel terhadap rekontruksi dalam interaksi antara konselor dengan klien.
Klarifikasi teoritis dan  praktis terhadap empati masih meninggalkan satu pertanyaan ,yaitu: Bagaimana konselor dapat memiliki suatu pemahaman terhadap kesadaran pada orang lain ,seperti klien. Untuk menggenggam empati secara natural suatu pengertian apa yang terjadi terjadi dalam persepsi pada setiap peristiwa itu.
2.5 Karakteristik yang harus dimiliki konselor dalam membentuk sensitifitas budaya
Dari ulasan diatas agar berjalan efektif konselor dalam hal ini dituntut untuk mempunyai kompetensi atau kemampuan yang luas. Sue (Dalam George & Cristiani: 1990) menyatakan beberapa karakteristik konselor sebagai berikut:
1). Konselor lintas budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan sumsi asumsi terbaru tentang perilaku manusia. Dalam hal ini, konselor yang melakukan praktik konseling lintas budaya, seharusnya sadar bahwa dia memiliki nilai nilai sendiri yang harus dijunjung tinggi. Konselor harus sadar bahwa nilai nilai dan norma norma yang dimilikinya itu akan terus dipertahankan sampai kapanpun juga. Di sisi lain, konselor harus menyadari bahwa klien yang akan dihadapinya adalah mereka yang mempunyai nilai nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Untuk hal itu, maka konselor harus bisa menerima nilai nilai yang berbeda itu dan sekaligus mempelajarinya.
2). Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum.
Konselor dalam melaksanakan konseling sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian terhadap kaidah kanseling yang terbaru akan membantu konselor dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien. Terutama mengenai kekuatan baru dalam dunia konseling yaitu konseling lintas budaya.
3).  Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan, dan mereka harus mempunyai perhatian terhadap lingkungannya. Konselor dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan nilai nilai atau norma norma yang dimiliki oleh suku suku tertentu. Terlebih lagi, jika konselor melakukan praktek konseling di indonesia. Dia harus sadar bahwa Indonesia mempunyai kurang lebih 357 etnis, yang tentu saja membawa nilai nilai dan norma yang berbeda. Untuk mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka konselor harus mau belajar dan memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan praktik. Dengan mengadakan perhatian atau observasi nilai-nilai lingkungan di sekitarnya, diharapkan konselor dapat mencegah terjadinya kemandegan atau pertentangan selama proses konseling.
4).  Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong seseorang (klien) untuk dapat memahami budayanya (nilai-nilai yang dimiliki konselor). Untuk hal ini, ada aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor mempunyai kode etik konseling, yang secara tegas menyatakan bahwa konselor tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada klien.Hal ini mengimplikasikan bahwa sekecil apapun kamauan konselor tidak bolah dipaksakan kepada klien.Klien tidak boleh diintervensi oleh konselor tanpa persetujuan klien.
5).  Konselor lintas budaya dalam melaksanakan konseling harus mempergunakan pendekaten eklektik. Pendekatan eklektik adalah suatu pendekatan dalam konseling yang mencoba untuk menggabungkan beberapa pendekatan dalam konseling untuk membantu memecahkan masalah klien. Penggabungan ini dilakukan untuk membantu klien yang mempunyai perbedaan gaya hidup. Selain itu, konseling eklektik dapat berupa penggabungan pendekatan konseling yang ada dengan pendekatan yang digali dari masyarakat pribumi (indegenous).


BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Sensitifitas budaya adalah pemahaman dan toleransi terhadap semua gaya hidup dan kebudayaan. Dengan pemahaman cara pandang terhadap perbedaan budaya yang harus dimiliki konselor, meliputi; 1.Keyakinan dan sikap, 2.Pengetahuan, 3.Keterampilan. Adanya unsur-unsur budaya yang dibawa oleh setiap individu, timbulah tingkat perbedaan budaya yang meliputi,1. Tingkat Internasional 2.Tingkat Kelompok Etnik 3. Tingkat Sosial Budaya.
Ketika konselor dan kloen bersama-sama dalam budaya yang sama, konselor mempercayakan intuitively atas penerimaan secara bersama-sama untuk menyempurnakan sesuatu diluar diri klien, atas pemahaman dirinya. Ketika participant budaya konseling dibedakan, konselor sering kurang menyimpulkan untuk menciptakan gambaran pada diri klien. Interaksi antara konselor-klien dapat dilihat sebgai intervensi yang disengaja dalam aktivitasnya, serta kebaikannya untuk memuaskan klien atas efektivitas yang diperbaiki. Konselor harus memiliki karakteristik agar konselor dapat terjalin sensitifitas budaya dengan klien. Karakteristiknya adalah sebagai berikut, 1. Konselor lintas budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan sumsi asumsi terbaru tentang perilaku manusia. 2. Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum. 3. Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan, dan mereka harus mempunyai perhatian terhadap lingkungannya. 4. Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong seseorang (klien) untuk dapat memahami budayanya (nilai-nilai yang dimiliki konselor). 5. Konselor lintas budaya dalam melaksanakan konseling harus mempergunakan pendekaten eklektik
3.2  Saran
Saran yang dapat kelompok berikan adalah individu (pembaca) umumnya, mahasiswa dan mahasiswi bimbingan dan konseling khususnya agar dapat mendalami, memahami, mengefektifkan, materi didalam makalah yang telah kelompk buat ini. Sehingga, dalam segi kinerjanya nanti dapat di efektifkan dan  digunakan sebagai ilmu yang dapat menunjang kinerjanya. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan para pembacanya mengeani materi Sensitifitas Budaya Dalam Konseling.


DAFTAR PUSTAKA
Adhiputra, A.A Ngurah. (2013). Konseling Lintas Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu
Ahmadi, Abu. (1986). Antropologi Budaya. Surabaya: Pelangi
Mulyana, Deddy, and Rakhmat, Jalaluddin. (2003). Komunikasi Antar Budaya. Bandung: Rosda
http://riezkaratna73.blogspot.com/2014/05/konseling-lintas-budaya.html




Makalah Bimbingan Belajar


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Bimbingan belajar merupakan salah satu layanan yang penting untuk diselenggarakan disekolah. Kesulitan belajar yang dialami siswa memiliki penyebab-penyebab yang mempengaruhinya, hingga ia mengalami masalah belajar. Kemampuan setiap anak berbeda-beda, jenis kesulitan belajar yang dialami peserta didik pun berbeda.
Dalam karya ilmiah ini juga akan diberikan upaya ynag dapat dilakukan guru atau konselor dalam rangka membantu siswanya yang mengalami masalah belajar.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud Bimbingan Belajar?
2.      Apa yang dimaksud Kesulitan Belajar?
3.      Apa saja jenis-jenis kesulitan belajar?
4.      Apa saja factor yang mempengaruhi Kesulitan Belajar?
5.      Bagaimana upaya dalam membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian bimbingan belajar.
2.      Untuk mengetahui pengertian kesulitan belajar.
3.      Untuk mengetahui jenis-jenis kesulitan belajar.
4.      Untuk mengetahui factor yang mempengaruhi kesulitan belajar.
5.      Untuk mengetahui upaya membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar
D.    Manfaat
1.      Bagi penulis: Sebagai bahan pembelajaran dalam memahami siswa yang mengalami masalah kesulitan belajar.
2.      Bagi Pembaca: Sebagai bahan bacaan untuk mengetahui tentang layanan bimbingan belajar dalam membantu siswaa yang mengalami kesulitan belajar
3.      Bagi dunia Pendidikan: Sebagai bahan referensi dalam pembelajaran dan pemecahan masalah serta pengetahuan layanan bimbingan belajar khusunya dalam dunia bimbingan dan konseling.











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Bimbingan Belajar
Menurut Prayitno (2004, 279) :          “ Bimbingan belajar merupakan salah satu
bentuk layanan bimbingan yang penting untuk diselenggarakan disekolah. Pengalaman menunjukan bahwa kegagalan-kegagalan yang dialami siswa dalam belajar tidak selalu disebabkan oleh kebodohan atau rendahnya intelegensi. Seringkali kegagalan itu terjadi karena mereka tidak mendapatkan layanan bimbingan yang memadai.
Menurut Nurihsan (2003, 20):            “ Bimbingan belajar yaitu bimbingan yang
diarahkan untuk membantu para individu dalam menghadapi dan memecahkan masalah-masalah   akademik.”
Menurut Winkel (1997, 140):             “ Bimbingan belajar merupakan bimbingan
dalam hal menemukan cara-cara belajar yang tepat, memilih program studi yang sesuai dan mengatasi kesukaran yang timbul berkaitan dengan tuntutan-tuntutan belajar disuatu institusi pendidikan.

Menurut Syamsyu Yusuf (2006, 37): “Bimbingan belajar yaitu bimbingan yang
diarahkan untuk membantu siswa dalam mengembangkan pemahaman dan keterampilan dalam belajar dan memecahkan masalah-masalah belajar yang dialami.
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa bimbingan belajar merupakan suatu proses bantuan yang diberikan kepada individu untuk dapat mengatasi masalah belajar yang dialaminya, agar dapat mengembangkan pemahaman dan keterampilan yang dimilikinya.
B.     Pengertian Kesulitan Belajar
Menurut The United States Office Education dalam buku Abdurrahman (2003, 06):          Kesulitan belajar adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih dari proses
psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ajaran atau tulisan
Menurut The National Joint Commite for Learning Dissabilites dalam buku Abdurrahman (2003, 07) :     Kesulitan belajar didefinisikan dalam bentuk
kesulitan nyata dalam kematian dan penggunaan kemampuan pendengaran, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar atau kemampuan dalam bidang studi.
Menurut Sunarta (1985, 07):   Kesulitan belajar yang dialami oleh siswa dalam
kegiatan belajarnya, sehingga berakibat prestasi belajarnya rendah dan perubahan tingkah laku yang terjadi tidak sesuai dengan partisipasi yang diperoleh sebagaimana teman-teman kelasnya.
C.    Jenis-jenis Masalah Belajar
Kesulitan belajar siswa mencakup pengertian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan diuraikan dari masing-masing pengertian tersebut.
1.      Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.
2.      Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.
3.      Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.
4.      Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
5.      Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.
Bila diamati, ada sejumlah siswa yang mendapat kesulitan dalam mencapai
hasil belajar secara tuntas dengan variasi dua kelompok besar. Kelompok pertama merupakan sekelompok siswa yang belum mencapai tingkat ketuntasan, akan tetapi sudah hampir mencapainya. Siswa tersebut mendapat kesulitan dalam menetapkan penguasaan bagian-bagian yang sulit dari seluruh bahan yang harus dipelajari.
Kelompok yang lain, adalah sekelompok siswa yang belum mencapai tingkat ketuntasan yang diharapkan karena ada konsep dasar yang belum dikuasai. Bisa pula ketuntasan belajar tak bisa dicapai karena proses belajar yang sudah ditempuh tidak sesuai dengan karakteristik murid yang bersangkutan.
Jenis dan tingkat kesulitan yang dialami oleh siswa tidak sama karena secara konseptual berbeda dalam memahami bahan yang dipelajari secara menyeluruh. Perbedaan tingkat kesulitan ini bisa disebabkan tingkat pengusaan bahan sangat rendah, konsep dasar tidak dikuasai, bahkan tidak hanya bagian yang sulit tidak dipahami, mungkin juga bagian yang sedang dan mudah tidak dapat dukuasai dengan baik.
D.    Faktor yang Mempengaruhi Kesulitan Belajar
Faktor yang dapat menyebabkan kesulitan belajar di sekolah itu banyak dan beragam. Apabila dikaitkan dengan faktor-faktor yang berperan dalam belajar, penyebab kesulitan belajar tersebut dapat kita kelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri siswa (faktor internal) dan faktor yang berasal dari luar diri siswa (faktor eksternal).
Adapun faktor-faktor penyebab kesulitan belajar itu, dapat dikelompokkan sebagai berikut:
A.    Faktor internal, yang meliputi:
1.      Faktor fisiologi
2.      Faktor psikologi
B.     Faktor eksternal, yang meliputi:
1.      Faktor orang tua
2.      Faktor sekolah
3.      Faktor media masa dan lingkungan sosial
Berikut ini akan diuraikan tentang faktor-faktor penyebab kesulitan belajar, baik faktor internal maupun faktor eksternal.
1)      Faktor Internal
A.    Faktor Fisiologi
Seorang anak yang sakit atau kurang sehat akan mengalami kelemahan fisik, sehingga saraf sensorik dan motoriknya lemah akibatnya rangsangan yang diterima melalui indranya tidak dapat diteruskan ke otak. Anak yang kurang sehat akan mengalami kesulitan belajar, sebab ia mudah lelah, pusing, mengantuk,daya konsentrasinya berkurang dan kurang bersemangat dalam belajar.
Ahmad Thanthowi (1991 : 106) mengatakan: “Karena sakit-sakitan, maka menjadi sering meninggalkan sekolah. Demikian juga dalam upaya belajar di rumah frekuensi belajar dapat menjadi menurun. Maka badan yang sehat dan segar amat berpengaruh bagi tercapainya sukses belajar.”
Wasty Soemanto, (1990 : 121) mengatakan bahwa: “Orang yang belajar membutuhkan kondisi badan yang sehat. Orang yang badanya sakit akibat penyakit-penyakit tertentu serta kelelahan tidak akan dapat belajar dengan efektif. Cacat fisik juga  mengganggu hal belajar.”
Gangguan serta cacat mental pada seseorang juga sangat mengganggu hal belajar orang yang bersangkutan. Bagaimana orang dapat belajar dengan baik apabila ia sakit ingatan, sedih, frustrasi atau putus asa. Bila seorang anak mengalami sakit yang lama, maka sarafnya akan bertambah lemah, sehingga ia tidak dapat mengikuti pelajaran untuk beberapa hari dan pelajarannya pun tertinggal. Selain itu cacat tubuh pun dapat menyebabkan seorang anak mengalami kesulitan belajar.
B.     Faktor Psikologi
Belajar memerlukan kesiapan rohani dan kesiapan mental yang baik, dan yang termasuk dalam faktor psikologi adalah:
a.       Inteligensi
Menurut Sarwono (1991,71) Intelegensi adalah kemampuan individu untuk berfikir dan bertindak secara terarah, serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif.
Faktor ini besar sekali pengaruhnya terhadap kemajuan belajar anak. Bila intelegensi seseorang memang rendah dan ia tidak mendapat bantuan dari pendidik dan orang tuanya, maka usaha dan jerih payahnya dalam belajar akan memperoleh hasil yang kurang baik atau mungkin tidak akan berhasil.
b.      Bakat
Menurut Ahmadi (1991,78) Bakat adalah potensi atau kecakapan dasar yang dibawa sejak lahir.
Setiap individu memiliki bakat yang berbeda-beda dan seseorang akan mempelajari sesuatu sesuai dengan bakat yang dimilikinya. Apabila seorang anak mempelajari suatu bidang studi yang bertentangan dengan bakatnya, maka ia akan merasa bosan dan cepat putus asa.
c.       Minat
Seorang anak yang tidak memiliki minat terhadap suatu pelajaran akan menimbulkan kesulitan belajar. Minat yang timbul dari kebutuhan belajar siswa, akan menjadi pendorong dalam melaksanakan belajar.
Moh Surya (2003, 6) mengatakan “Ada tiga komponen yang harus dimiliki anak, agar dirinya dapat melakukan kegiatan proses belajar yaitu: Minat, Perhatian, Motivasi.
d.      Motivasi
Motivasi memegang peranan penting dalam proses belajar. Seseorang yang motivasinya lemah tampak acuh tak acuh terhadap elajaran, mudah putus asa, perhatiannya tidak tertuju pada pelajaran dan sering meninggalkan pelajaran yang mengakibatkan kesulitan dalam belajar.


2)      Faktor Eksternal
A.    Faktor orang tua
Keluarga merupakan pusat pendidikan utama dan pertama, tetapi dapat juga sebagai faktor penyebab kesulitan belajar. Dalam hal ini orang tua memiliki peranan penting dalam rangka mendidik anaknya,karena pandangan hidup, sifat dan tabiat seorang anak, sebagian besar berasal dari kedua orang tuanya.
Hasbullah (1996, 89) mengatakan “Tugas utama keluarga dalam pendidikan anak ialah sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Sifat dan tabi’at anak sebagian besar diambil dari kedua orang tuanya dan dari anggota keluarga lain.”
Yang termasuk faktor ini antara lain adalah:
a.       Bimbingan dan didikan orang tua
Orang tua yang tidak tahu atau kurang memperhatikan kemajuan belajar anak-anaknya akan menjadi penyebab kesulitan belajar anak-anak memerlukan bimbingan orang tua agar bersikap dewasa dan tanggung jawab belajar tumbuh pada diri anak. Orang tua yang bekerja dapat mengakibatkan anak tidak memperoleh bimbingan atau pengawasan dari orang tuanya, sehingga anak akan mengalami kesulitan belajar.
b.      Hubungan orang tua dan anak
Faktor ini penting sekali dalam menentukan kemajuan belajar anak. Kasih sayang dari orang tua menimbulkan mental yang sehat bagi anak. Kurangnya kasih sayang akan menimbulkanemosional insecurity. Seorang anak akan mengalami kesulitan belajar apabila tidak ada atau kurangnya kasih sayang dari orang tua.
c.       Suasana rumah atau keluarga
Suasana rumah yang sangat ramai atau gaduh, mengakibatkan anak tidak dapat belajar dengan baik. Anak akan selalu terganggu konsentrasinya, sehingga sukar belajar.
d.      Keadaan ekonomi keluarga
Keadaan ekonomi digolongkan dalam:
-          Ekonomi yang kurang atau miskin  keadaan ini akan menimbulkan kurangnya alat-alat belajar, kurangnya biaya dan anak tidak mempunyai tempat belajar yang baik. Ketiga hal tersebut akan menjadi penghambat bagi anak untuk dapat belajar dengan baik dan hal tersebut juga dapat menghambat kemajuan belajar anak.
-          Ekonomi yang berlebihan (kaya). Keadaan ini sebaiknya dari keadaan yang pertama, yaitu ekonomi keluarga yang melimpah ruah. Mereka akan menjadi malas belajar karena ia terlalu banyak bersenang-senang mungkin orang tua tidak tahan melihat anaknya belajar dengan bersusah payah keadaan seperti ini akan dapat menghambat kemajuan belajar.

B.     Faktor sekolah
Yang dimaksud dengan faktor sekolah antara lain adalah:
a.       Guru
Guru dapat menjadi penyebab kesulitan belajar apabila guru tidak memenuhi syarat sebagai seorang pendidik, contohnya:  hubungan guru kurang baik dengan siswa dan guru menuntut standar pelajaran di atas kemampuan anak. Seorang guru dituntut harus dapat mengelola komponen-komponen yang terkait dalam mendidik para siswa.
Ladjid (2005 : 114), mengatakan “Dalam komponen- komponen yang berpengaruh terhadap hasil belajar, komponen guru lebih menentukan karena ia akan mengelola komponen lainnya sehingga dapat meningkatkan hasil proses belajar mengajar.”
b.      Alat pelajaran
Alat pelajaran yang kurang lengkap membuat penyajian pelajaran tidak baik. Terutama pelajaran yang bersifat praktikum, kurangnya alat laboratorium akan banyak menimbulkan kesulitan dalam belajar.
c.       Kondisi gedung
Apabila gedung sekolah dekat dengan keramaian, ruangan gelap dan sempit maka situasi belajar akan kurang baik karena sangat mengganggu konsentrasi sehingga kegiatan belajar terhambat. Dalam belajar dibutuhkan konsentrasi penuh sehingga siswa akan dengan mudah dalam memahami pelajaran yang sedang dibahas.
Thonthowi (1991, 1005) mengatakan “Ruang kelas yang kotor, berdebu, dan kurang ventilasi dapat mengganggu kesehatan, terutama pernapasan sehingga proses belajar mengajar dapat mengalami gangguan. Demikian juga situasi dalam kelas yang bising, ribut, tidak memungkinkan tercapainya tujuan belajar yang diinginkan”
d.      Kurikulum
Kurikulum dapat dikatakan kurang baik apabila bahan/materinya terlalu tinggi dan pembagian bahan/materi tidak seimbang.
Slameto (2003, 93) mengatakan “Kurikulum yang baik dan seimbang. Kurikulum sekolah yang memenuhi tuntutan masyarakat dikatakan kurikulum itu baik dan seimbang. Kurikulum ini juga harus mampu mengembangkan segala segi kepribadian siswa. Di samping kebutuhan siswa sebagai anggota masyarakat.”
e.       Waktu sekolah dan disiplin kurang
Waktu yang baik untuk belajar adalah pagi hari, karena kondisi anak masih dalam keadaan yang optimal untuk dapat menerima atau menyerap pelajaran. Apabila sekolah masuk siang atau sore kondisi siswa sudah tidak optimal lagi untuk menyerap pelajaran, karena energi mereka sudah berkurang. Selain itu pelaksanaan disiplin yang kurang juga dapat menjadi penghambat dalam proses belajar mengajar.
Selain faktor-faktor di atas, ada pula faktor-faktor lain yang juga dapat menimbulkan kesulitan belajar yaitu sindrom psikologis berupa learning disability (ketidakmampuan belajar)
Menurut Syah, (1999, 166)
Faktor-faktor tersebut adalah:
-          Disleksia (dyslexia) yaitu ketidakmampuan belajar membaca.
-          Disgrafia (dysgraphia) yaitu ketidakmampuan belajar menulis.
-          Diskalkulia (discalculia), yaitu ketidakmampuan belajar matematika.
3)      Faktor media masa dan lingkungan sosial
A.    Menurut Ahmadi (1991,87). Faktor media masa meliputi; bioskop, surat kabar, majalah, radio, dan televisi. Hal-hal tersebut dapat menjadi penghambat dalam belajar apabila terlalu banyak waktu yang digunakan untuk hal-hal tersebut, hingga melupakan belajar.
B.     Lingkungan sosial, seperti teman bergaul, tetangga dan aktivitas dalam masyarakat. Ketiga faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap proses belajar anak, misalnya anak terlalu banyak berorganisasi, hal ini dapat menyebabkan belajar anak menjadi terbengkalai.
Riset menunjukkan bahwa apa yang terjadi selama tahun-tahun awal kelahiran sampai umur 4 tahun adalah masa-masa kritis yang penting terhadap pembelajaran ke depannya. Stimulasi pada masa bayi dan kondisi budaya juga mempengaruhi belajar anak.  Pada masa awal kelahiran samapi usia 3 tahun misalnya, anak mempelajari bahasa dengan cara mendengar lagu, berbicara kepadanya, atau membacakannya cerita.
E.     Upaya Membantu Siswa yang Mengalami Masalah Belajar
Siswa yang mengalami masalah belajar seperti yang diutarakan perlu mendapatkan bantuan agar permasalahan yang dialaminya dapat terselesaikan  dan tidak berlarut-larut yang nantinya dapat mempengaruhi proses perkembangan siswa. Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a)      Pengajaran Perbaikan
Pengajaran perbaikan merupakan suatu bentuk bantuan yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok siswa yang menghadapai kesulitan belajar, dengan maksud untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam proses dan hasil belajar mereka.
Pengajaran perbaikan sifatnya lebih khusus, karena bahan dan metodenya serta pelaksanannya disesuaikan dengan jenis, sifat, dan latar belakang kesulitan yang dihadapi siswa.


b)      Kegiatan Pengayaan
Kegiatan pengayaan merupakan suatu bentuk layanan yang diberikan kepada seorang atau beberapa orang siswa yang sangat cepat dalam belajar. Dilihat dari segi prestasi mereka bukanlah merupakan siswa yang mengalami kesulitan belajar, tetapi dengan kecepatan belajar yang dimilikinya dapat berdampak negative kepada diri anak itu sendiri, apabila merasa kurang diperhatikan da kurang dihargai, mereka cenderung menjadi patah hati, dan tidak bersemangat. Hubungannya dengan siswa yang lain, mereka mungkin menjadi siswa yang mengganggu atau salah tingkah sehingga membuat mereka ini kesulitan dalam belajar. Maka perlu diadakannya kegiatan pengayaan.
c)      Peningkatan Motivasi Belajar
Guru atau konselor dan staf lainnya berkewajiban membantu siswa meningkatkan motovasi dalam belajar. Prosedur yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
(1)   Memperjelas tujuan belajar. Siswa akan lebih terdorong untuk belajar jika mengetahui tujuan belajar.
(2)   Menyesuaikan pengajaran dengan bakat, kemampuan dan minat siswa.
(3)   Menciptakan suasana pembelajaran yang menantang, merangsag dan menyenangkan.
(4)   Memberikan hadiah dan hukuman bila perlu.
(5)   Menciptakan suasana hubungan yang hangat dan dinamis antara guru dan murid serta murid dengan murid.
(6)   Menghindari tekanan-tekanan dan suasana yang tidak menentu
(7)   Melengkapi sumber dan peralatan belajar
d)     Pengembangan Sikap dan Kebiasaan belajar yang baik
Siswa yang hendak didorong untuk meninjau sikap dan kebiasaannya dalam hubungannya dengan prinsip-prinsip dibawah ini:
(1)   Belajar dengan melibatkan diri secara penuh, lebih dari sekedar membaca bahan yang tercetak dalam buku
(2)   Peningkatan efisiensi belajar jika ada rencana atau tujuan yang nyata
(3)   Kata dan ungkapan dibaca dengan penuh pengertian
(4)   Belajar dengan suasana tidak terpaksa
(5)   Dalam melaksanakan kegiatan perlu adanya suasana hati yang nyaman, kesehatan fisik yang baik, tidur yang teratur.
Sebagai Konselor, guru, ataupun staff sekolah dapat membantunya dengan:
(1)   Menemukan motif yang tepat dalam belajar
(2)   Memelihara kondisi kesehatan yang baik
(3)   Mengatur waktu belajar, baik dirumah maupun disekolah
(4)   Memilih tempat belajat yang baik
(5)   Menggunakan sumber belajar yang kaya
(6)   Membaca secara baik dan sesuai dengan kebutuhan
(7)   Tidak segan dalam bertanaya



BAB III
Penutup

A.    Kesimpulan
Bimbingan belajar merupakan layanan bantuan yang diberikan kepada seorang atau sekelompok siswa, yang mengalami masalah belajar. Kesulitan belajar yang dialami siswa adalah aspek-aspek yang membuat atau menyebabkan belajarnya mengalami tingkat yang rendah. Faktor yang menyebabkannya dapat berupa factor internal dan factor eksternal. Upaya yang dapat dilakukan adalah dapat diberikan pengajaran perbaikan, kegiatan pengayaan, peningkatan motivasi belajar, pengembangan sikap dan kebiasaan belajar yang efektif.
B.     Saran
Dalam karya ilmiah yang penulis buat ini masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan demi perbaikan yang semestinya pada karya ilmiah ini sangat penulis harapkan dari semua pihak yang berkenan memperhatikan isi dan penulisnya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan memiliki arti bagi dunia pendidikan dan khususnya dalam bidang bimbingan dan konseling.



DAFTAR PUSTAKA

Abin Syamsuddin, Psikologi Pendidikan, Bandung : PT Remaja Rosda
Karya, 2003.
Ahmadi Abu dan Joko Tri Prasetya. Strategi Belajar Mengajar. Bandung :
Pustaka Setia, 2003.
Djumhur dan Moh. Surya, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, CV. Ilmu
Bandung. 1975.
Prayitno dan Erman Anti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta :
P2LPTK Depdikbud,1995.
Prayitno, Panduan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdikbud Direktorat
Pendidikan Dasar dan Menengah,2003.
Prayitno, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, CV. Ilmu Bandung,
1997
Winkel, W.S., Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta :
Gramedia, 1991.



.


Sensitifitas Budaya Dalam Konseling

BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Masalah Dewasa ini mahasiswa di perguruan tinggi sering mengadopsi suatu pandangan bahwa situ...